herman kamarudin
Senin, 13 Mei 2013
DEFISIT PERAWATAN DIRI
KEPERAWATAN JIWA
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Masalah Utama
Defisit perawatan diri: higiene
B. Proses Terjadinya Masalah
Defisit
perawatan diri : higiene adalah keadaan dimana individu mengalami kegagalan
kemampuan untuk melaksanakan atau menyelesaikan aktivitas kebersihan diri
(Carpenito, 1977).
Beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya perawatan diri kurang (higiene) antara lain:
a. Perkembangan:
Keluarga terlalu melindungi
dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif dan keterampilan.
b. Biologis
Penyakit kronis yang
menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Sosial
Kurang dukungan dan latihan
kemampuan dari lingkungannya.
C. 1. Pohon Masalah
Perawatan diri kurang: higiene
|
||||
Isolasi sosial : menarik diri
2. Masalah keperawatan dan data yang
perlu dikaji
a.
Masalah keperawatan:
1). Defisit perawatan diri
2). Menurunnya motivasi
perawatan diri
3). Isolasi sosial: menarik
diri
b.
Data yang perlu dikaji:
1). Data Subyektif:
Mengatakan malas mandi, tak
mau menyisir rambut, tak mau menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau
berhias, tak bisa menggunakan alat mandi / kebersihan diri.
2). Data Obyektif:
Badan bau, pakaian kotor, rambut
dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor, gigi kotor, mulut bau, penampilan
tidak rapih, tak bisa menggunakan alat mandi.
C. Diagnosa keperawatan
1.
Perawatan diri kurang: higiene berhubungan dengan menurunnya
motivasi perawatan diri
2.
Menurunnya motivasi perawatan diri berhubungan dengan menarik
diri.
D. Rencana tindakan
a. Tujuan umum : klien mampu melakukan
perawatan diri: higiene.
b. Tujuan khusus:
1. Klien dapat menyebutkan
pengertian dan tanda‑tanda kebersihan diri
Tindakan :
1.1. Diskusikan
bersama klien tentang pengertian bersih dan tanda‑tanda bersih
1.2. Beri
reinforcement positif bila klien mampu melakukan hal yang positif.
2.
Klien dapat menyebutkan penyebab tidak mau menjaga kebersihan
diri
Tindakan :
2.1. Bicarakan
dengan klien penyebab tidak mau menjaga kebersihan diri
2.2. Diskusikan
akibat dari tidak mau menjaga kebersihan diri
3. Klien dapat menyebutkan
manfaat higiene
Tindakan:
3. 1. Diskusikan bersama klien tentang
manfaat higiene
3.2. Bantu
klien mengidentifikasikan kemampuan untuk menjaga kebersihan diri
4. Klien dapat menyebutkan
cara menjaga kebersihan diri
Tindakan:
4. 1. Diskusikan dengan klien cara menjaga kebersihan diri: andi 2x sehari
(pagi dan sore) dengan memakai sabun mandi, gosok gigi minimal 2x sehari dengan
pasta gigi, mencuci rambut minimal 2x seminggu dengan sampo, memotong kuku
minimal 1x seminggu, memotong rambut minimal 1 x sebulan.
4.2. Beri reinforcement positif bila klien berhasil
5. Klien dapat melaksanakan
perawatan diri higiene dengan bantuan minimal
Tindakan:
5. 1. Bimbing
klien melakukan demonstrasi tentang cara menjaga kebersihan diri
5.2. Dorong
klien untuk melakukan kebersihan diri dengan bantuan minimal
6. Klien dapat melakukan
perawatan diri higiene secara mandiri
Tindakan:
6. 1. Beri
kesempatan klien untuk membersihkan diri secara bertahap
6.2. Dorong
klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah membersihkan diri
6.3 Bersama klien membuat jadwal menjaga
kebersihan diri
6.4. Bimbing
klien untuk melakukan aktivitas higiene secara teratur
7. Klien mendapat dukungan
keluarga
Tindakan:
7. 1. Beri pendidikan kesehatan tentang merawat klien
untuk kebersihan diri melalui pertemuan keluarga
7.2. Beri
reinforcement positif atas partisipasi aktif keluarga
ASKEP JIWA (KEHILANGAN)
ASKEP
KEHILANGAN
A. Definisi
Kehilangan adalah suatu keadaan Individu
berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik
terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu
sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda. Ada kehilangan yang bersifat metrasional yaitu
kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama
kalinya. Ada pula kehilangan yang bersifat situasional, yaitu kehilangan yang
terjadi secara tiba-tiba dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti
kematian mendadak orang yang dicintai.
S. Sundeen (1995:426) menyatakan :
Loss of attachment: The loss may be real or imagined and may include the
loss of love, a person, physical functioning, status or self esteem. Many
losses take on importance because of their symbolic meaning. May involve the
loss of old friends, warm memories, and neighborhood associations. The ability
to sustain, integrate and recover from loss, however is a sign of personal
maturity and growth.
Kehilangan dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori.
1. Kehilangan objek
eksternal
Kehilangan objek
eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, rusak karena
bencana alam, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
2. Kehilangan
lingkungan yang dikenal
Kehilangan ini
berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal misalkan pindah
tempat kos, pindah rumah.
3. Kehilangan orang
terdekat
Kehilangan
dari attachment (kedekatan seseorang terhadap orang lain yang
dianggap penting), merupakan kehilangan yang mencakup kejadian nyata atau hanya
khayalan (yang diakibatkan persepsi seseorang terhadap kejadian), seperti kasih
sayang, kehilangan orang yang berarti (kehilangan orang tua, kehilangan
pasangan, anak, teman kerja, dll), fungsi fisik, harga diri. Banyak situasi
kehilangan dianggap sangat berpengaruh karena memiliki makna tinggi. Dapat pula
mencakup kehilangan teman lama, kenangan yang indah, tetangga yang baik.
Kemampuan seseorang untuk bertahan, tetap stabil, dan bersikap positif terhadap
kehilangan, merupakan suatu tanda kematangan dan pertumbuhan.
4. Kehilangan aspek
diri
Kehilangan ini mencakup
kehilangan pada aspek tubuh seperti kehilangan mata, kehilangan kaki,
kehilangan payudara dll.
5. Kehilangan hidup
Kehilangan ini
mencakup kehilangan hidup yaitu suatau keadaan dimana manusia merasakan keadaan
saat-saat sebelum dia meninggal.
B. Proses Kehilangan
1. Stressor internal atau eksternal – gangguan
dan kehilangan – individu memberi makna positif – melakukan kompensasi dengan
kegiatan positif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman).
2. Stressor
internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu memberi makna –
merasa tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri
– muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan
dan kehilangan – individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – kompensasi dengan
perilaku konstruktif – perbaikan (beradaptasi dan merasa nyaman).
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan
dan kehilangan – individu memberi makna – merasa tidak berdaya – marah dan
berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – kompensasi dengan
perilaku destruktif – merasa bersalah – ketidakberdayaan.
C. Prespektif Agama Terhadap Kehilangan
Dalam prespektif agama saat meghadapi kehilangan
manusia diharuskan untuk sabar, berserah diri, menerima dan mengembalikannya
kepada Allah karena hanya Dia pemilik mutlak segala yang kita cintai dan
manusia bukanlah pemilik apa-apa yang diakuinya. Sebagai firman Allah: “Dan sungguh kami akan memberikan cobaan kepadamu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang sabar, yaitu ketika mereka ditimpa musibah
mereka mengucapkan kami adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah, mereka
akan mendapat berkah dan rahmat dari Tuhan mereka”.
D. Fase-fase Kehilangan
Fase kehilangan menuru Engel:
1. Pada fase ini individu menyangkal realitas
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak atau menerawang tanpa
tujuan. Reaksi fisik dapat berupa pingsan, diare, keringat berlebih.
2. Pada fase kedua ini individu mulai merasa
kehilangan secara tiba-tiba dan mungkin mengalami keputusasaan secara mendadak
terjadi marah, bersalah, frustasi dan depresi.
3. Fase realistis
kehilangan. Individu sudah mulai mengenali hidup, marah dan depresi, sudah
mulai menghilang dan indivudu sudah mulai bergerak ke berkembangnya keasadaran
Fase berduka
menurut kubler-Rose adalah :
1. Fase Pengingkaran (denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami
kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan
itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”,
”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit
terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran
adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung
cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas
cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
2. Fase Marah (anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan
kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat
yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu
atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku
agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang
tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
3. Fase Tawar Menawar(bergaining)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa
marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan
memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau
saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila
proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut
sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.
4. Fase Depresi(depression)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap
antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai
pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan
adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5. Fase Penerimaan (acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan
kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai
berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang
dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan
secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini
biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi
baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang
dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.
Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase
tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat
mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi
apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase
penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada
fase penerimaan.
Fase berduka menurut Rando
1. Penghindaran
pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan
2. Konfrontasi
pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien
secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan
mulai memasuki kembali secara emosional dan social sehari-hari dimana klien
belajar hidup dengan kehidupan mereka.
1. Pengkajian
Faktor Predisposisi
Faktor prdisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
Genetic
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang mengalami gangguan fisik
Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat
depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi
oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi
kehilangan.
Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa
kana-kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada
masa dewasa (Stuart-Sundeen, 1991)
Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress
yang dihadapi.
Faktor Presipitasi
Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress
nyata, ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial
antara lain meliputi: kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas,
kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan
milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau orang yang dicintai,
kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.
Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti:
menangis atau tidak mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada
tanda-tanda bunuh diri atau ingin membunuh orang lain. Juga sering berganti tempat
mencari informasi yang tidak menyokong diagnosanya.
Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara
lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi,
Supresi dan Proyeksi yang digunakan untuk menghindari
intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi
sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis
mekanisme koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Potensial proses beduka yang tidak
terselesaikan sehubungan dengan kematian ibu.
2. Fiksasi berduka
pada fase depresi sehubungan dengan amputasi kaki kiri.
3. Potensial respon
berduka yang berkepanjangan sehubungan dengan proses berduka sebelumnya yang
tidak tuntas.
3. Perencanaan
Tujuan jangka panjang : agar individu berperan
aktif melalui proses berduka secara tuntas.
Tujuan jangka pendek : pasien mampu :
1. Mengungkapkan perasaan duka
2. Menjelaskan makna kehilangan atau orang atau
objek
3. Membagi rasa dengan orang yang berarti
4. Menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan
damai
5. Membina hubungan baru yang bermakna dengan
objek atau orang yang baru
4. Prinsip Tindakan Keperawatan pada Pasien
dengan Respon Kehilangan
1. Bina dan jalin hubungan saling percaya
2. Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan
suatu kejadian yang menyakitkan dengan pemberian makna positif dan mengambil
hikmahnya
3. Identifikasi kemungkinan factor yang
menghambat proses berduka
4. Kurangi atau hilangkan factor penghambat proses
berduka
5. Beri dukungan terhadap respon kehilangan
pasien
6. Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota
keluarga
7. Ajarkan teknik logotherapy dan
psychoreligious therapy
8. Tentukan kondisi pasien sesuai dengan
fase berikut :
a. Fase Pengingkaran
· Memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan perasaannya.
· Menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan
mendorong pasien untuk berbagi rasa.
· Memberikan jawaban yang jujur terhadap
pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan dan kematian.
b. Fase marah
Mengizinkan
dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa melawan
dengan kemarahan.
c. Fase tawar menawar
Membantu pasien mengidentifikasi
rasa bersalah dan perasaan takutnya.
d. Fase depresi
· Mengidentifikasi
tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien.
· Membantu
pasien mengurangi rasa bersalah.
e. Fase penerimaan
Membantu
pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan.
5. Prinsip
Keperawatan pada Anak dengan Respon Kehilangan
1. Memberi dorongan kepada keluarga untuk
menerima kenyataan serta menjaga anak selama masa berduka.
2. Menggali konsep anak tentang kematian,
serta membetulkan konsepnya yang salah.
3. Membantu anak melalui proses berkabung
dengan memperhatikan perilaku yang diperhatikan oleh orang lain.
4. Mengikutsertakan anak dalam upacara
pemakaman atau pergi ke rumah duka.
6. Prinsip
Keperawatan pada Orangtua dengan Respon Kehilangan (Kematian Anak)
1. Menyediakan sarana ibadah, termasuk pemuka
agama.
2. Menganjurkan pasien untuk memegang/melihat
jenasah anaknya.
3. Menyiapkan perangkat kenangan.
4. Menganjurkan pasien untuk mengikuti
program lanjutan bila diperlukan.
5. Menjelaskan kepada pasien/keluarga
ciri-ciri respon yang patologis serta tempat mereka minta bantuan bila
diperlukan.
Langganan:
Postingan (Atom)